Sabtu, 10 September 2016

‘Kutipan-kutipan Indah dalam Novel Edensor’


...
Edensor adalah novel vaforitku. Sejak pertama kali membacanya pada tahun 2008 hingga sekarang, mungkin sudah ada sepuluh kali kubaca buku ketiga dari Andrea Hirata itu. Bersama Edensor, saya hanyut dalam renungan, menjadi termotivasi, kadang juga merasa tersentil dan sering juga ditatap aneh oleh Mama karena tertawa-tawa sendiri bersama sebuah bacaan.
.
Ada beberapa kutipan dalam novel Edensor ini yang menjadi vaforit saya. Saya menuliskannya kembali bukan berdasarkan urutan posisinya dalam buku, tapi berdasarkan yang paling saya suka.



. “Aku ingin hidup mendaki puncak tantangan, menerjang batu granit kesulitan, menggoda marabahaya, dan memecahkan misteri dengan sains. Aku ingin menghirup berupa-rupa pengalaman lalu terjun bebas menyelami labirin lika-liku hidup yang ujungnya tak dapat disangka. Aku mendamba kehidupan dengan kemungkinan-kemungkinan yang bereaksi satu sama lain seperti benturan molekul uranium : meletup tak terduga-duga, menyerap, mengikat, mengganda, berkembang, terurai dan berpencar ke arah yang mengejutkan. Aku ingin ke tempat-tempat yang jauh, menjumpai beragam bahasa dan orang-orang asing. Aku ingin berkelana, menemukan arahku dengan membaca bintang gemintang. Aku ingin mengarungi padang dan gurun-gurun, ingin melepuh terbakar matahari, limbung dihantam angin, dan menciut dicengkeram dingin. Aku ingin kehidupan yang menggetarkan, penuh dengan penaklukan. Aku ingin hidup! Ingin merasakan sari pati hidup.”


“Tabiat orang tak berhubungan dengan gelar yang disematkan kepadanya, bukan pula bagaimana ia menginginkan orang hormat kepadanya, tapi lebih pada berapa besar ia menaruh hormat kepada dirinya sendiri.”

“Banyak orang yang panjang pengalamannya tapi tak kunjung belajar, namun tak jarang pengalaman yang pendek mencerahkan seumur hidup.”

“Tertawalah, seisi dunia akan tertawa bersaamamu; jangan bersedih karena kau hanya akan bersedih sendirian.”

“Tak selembar pun daun jatuh tanpa sepengetahuan Allah.”

“Jalanan adalah karya seni instalasi yang sempurna. Ia lurus, berhiaskan lampu dan bunga, menikung, menanjak, dan kadang-kadang buntu. Ia mengarahkan, meloloskan, menjebak dan menyesatkan.
Jalan tempat berparade, pamer kejayaan, juga tempat menggelandang. Jalan tempat lari dari kenyataan, tempat mencari nafkah. Orang hilir mudik di jalan, bergerak indah, melamun, riang, dan berduyun-duyun, siapa mereka? Ke manakah mereka?
Jalanan seperti panggung dengan kemungkinan konfigurasi dekorasi yang amat luas. Semua kemungkinan seni dapat ditampilkan di jalanan. Seniman jalanan menghadapi tantangan seni terbesar.”

 “Ide-ide sinting memang selalu memiliki dua dimensi; dicemooh atau diikuti orang-orang frustasi.”

“Langit adalah kitab yang terbentang”

“Jika hidup ini sumpama rel kereta api dalam eksperimen relativitas Enstein, maka pengalaman demi pengalaman yang menggempur kita dari waktu ke waktu adalah cahaya yang melesat-lesat di dalam gerbong di atas rel itu. Relativitasnya berupa seberapa banyak kita dapat mengambil pelajaran dari pengalaman yang melesat-lesat itu. Analogi eksperimen itu tak lain, karena kecepatan cahaya bersifat sama dan absolut, dan waktu relatif tergantung kecepatan gerbong. Ini pendapat Enstein maka pengalaman yang sama dapat menimpa sapa saja, namun sejauh mana, dan secepat apa pengalaman yang sama tadi memberi pelajaran pada seseorang, hasilnya akan berbeda, relatif satu sama lain.”

*ed                           

Tidak ada komentar: