Hari
Minggu lalu (31 Juli 2016), saya pergi mengantar adik melakukan daftar ulang
anggota paskibra Kabupaten Pesisir Selatan tahun 2016. Daftar ulangnya
dilakukan di wisma San Laida yang ada di Sago, bersebelahan dengan Islamic
Centre, dan setelah daftar ulang tersebut, peserta akan langsung masuk wisma
untuk seterusnya menjalani masa karantina selama pelatihan hingga selesai acara
pembubaran sekitar tanggal 18 atau 19 Agustus.
Jika
dari Kambang atau Lengayang, untuk sampai ke sago dari Kambang terlebih dahulu melewati Kota Painan, ibukota
Kabupaten Pesisir Selatan, kota kecil yang bagiku sarat akan kenangan.
Sepuluh
tahun yang lalu, tepatnya di Agustus 2006, saya juga menjalani masa pelatihan
paskibra Kabupaten Pesisir Selatan selama tiga minggu. Bedanya dengan sekarang,
pelatihan masa itu diadakan di Gor Ilyas Yakub dan pesertanya menginap di
asrama bola yang ada di GOR itu. Waktu itu saya baru saja naik ke kelas dua
SMA. Masa-masa remaja yang (seharusnya) indah.
Saya
menjadi bagian dari 70 orang peserta yang berasal dari SMA dan SMK dari Lunang
Silaut hingga Tarusan. Yang diikutkan untuk seleksi pada tahun itu sepertinya
tidak seluruh sekolah, karena seingat saya ada SMA dan SMK yang tidak mengutus
wakilnya di seleksi dan juga tidak ada peserta dari Madrasah Aliyah. Saya tidak
tahu ini karena alasan apa. Seleksi diikuti oleh ratusan peserta yang
diselenggarakan di GOR Zaini Zein Painan. Saya waktu itu ikut seleksi bersama
19 teman-teman lainnya dari SMANDU Lengayang dan yang lolos hanyalah empat orang.
Jumlah yang lumayan banyak untuk sekolah-sekolah yang berada di selatannya
kabupaten yang juga terletak di selatan Sumatera Barat ini. Karena memang dari
tahun ke tahun anggota Paskab Pessel ini didominasi oleh peserta yang berasal
dari sekolah-sekolah yang ada di Painan dan sekitarnya (Kec. Ampek Jurai).
Untuk tahun ini saja dari SMANDU Lengayang hanya lolos dua orang peserta.
Sepertinya
banyak yang berbeda dari pelaksanaan Paskab Pessel tahun ini. Selain penginapan
peserta yang berpindah lokasi dari Painan ke Sago, urusan daftar ulang hingga
pengaturan masuk asrama juga berpindah tangan. Seingat saya, sepuluh tahun yang
lalu, mulai dari tahapan seleksi, masuk asrama, pelatihan, pengukuhan,
pembubaran hingga penerimaan piagam penghargaan, keseluruhannya di handle oleh
pelatih dan pembina yang merupakan gabungan dari TNI, POLRI dan Pemda. Tapi
pada tahun ini (saya tidak tahu sejak kapan mulainya), prosesi daftar ulang di
atur oleh beberapa orang purna yang sepertinya juga berasal dari Kota Painan
dan sekitarnya. Sebenarnya memang tak penting siapa atau bagaimana
pengaturannya, yang penting adalah mana baiknya, toh catatan ini juga cuma
sekedar cuap-cuap saya yang kebetulan menyaksikannya.
Purna
Paski Pessel memang memiliki organisasi sendiri bernama PPI Pessel, yang
merupakan turunan dari organisasi Purna Paskibra Indonesia. Saya tak tahu seluk
beluk organisasi ini karena memang saya tak pernah aktif di sana, hanya sekedar
terdaftar di grup yang ada di Facebook saja.
Menjadi
anggota paski memang memberikan banyak pengalaman meski saat menjalani masa
pelatihannya lumayan terasa berat. Jam enam pagi seluruh anggota (kecuali yang
piket harian) harus sudah membentuk barisan rapi di jalan yang ada di belakang
asrama. Setelah itu akan ada salah seorang pelatih yang akan memandu untuk lari
pagi mengitari hampir seperempat kota (Painan memang kota kecil). Dan setelah
itu, akan diberi waktu sekitar setengah jam untuk bersih-bersih diri. Kalau
waktunya sempat dan airnya ada, kami bisa mandi, tapi selama pelatihan kami
memang lebih sering tidak mandi pagi karena air jarang hidup saat pagi. Belum
lagi antriannya yang selalu panjang di depan kamar mandi, dan udah gitu waktu
antara selesai lari pagi dengan sarapan selalu mepet.
Setelah
sarapan tak ada lagi jeda waktu untuk istirahat. Kami harus buru-buru memasang
sepatu dan setelah itu langsung membentuk barisan di lapangan untuk apel pagi.
Baru dianjutkan dengan latihan hingga maghrib menjelang.
Latihan paling berat
dirasakan di hari-hari pertama yaitu di saat
latihan fisik. Hal itu dikarenakan sebagian besar peserta, terlebih perempuan,
tidak terbiasa olah raga sebelum masa karantina, sementara sejak hari pertama
pelatihan fisik langsung dipaksa bergerak habis-habisan dari pagi hingga sore.
Kami harus lari, jalan jongkok, loncat-loncat, merangkak dan merayap. Jika ada
yang salah gerakan atau berulah saat latihan, diberi hukuman berupa push up bagi
yang laki-laki dan skot jump
bagi yang perempuan. Saya juga ingat waktu itu hampir sebagian besar peserta
perempuan mengalami memar-memar dilututnya setelah merangkak-rangkak di lapangan. Setelah makan
malam terkadang masih ada kegiatan lain berupa pemberian arahan atau sekedar
acara hiburan. Memasuki minggu kedua pelatihan baru terasa ringan dan
menyenangkan. Sekali selama latihan kami juga dibawa refreshing ke Pantai
Carocok yang tak jauh dari lokasi pelatihan (antar tempat di Kota Painan memang
tak ada yang berjauhan).
Adik
saya, Della, di tahun
sebelumnya (Agustus 2015) juga telah mengikuti paskibra di tingkat kecamatan
sebagai pembawa baki bendera. Kakak saya, Yona, juga pernah menjadi pembawa
baki bendera di tahun 2007. Kami tiga saudara (tiga-tiganya perempuan) pernah
mengikuti paskibra dan bahkan kakak ipar saya juga menjadi anggota paskibra di
tingkat provinsi di Kota Padang. Sebenarnya untuk tahun ini kami berharap Della bisa mengikuti
seleksi paski untuk provinsi. Tapi entah kenapa, undangan untuk mengikuti
seleksi paski tingkat provinsi tersebut tidak sampai ke SMANDU Lengayang.
*ed
Tidak ada komentar:
Posting Komentar